Senin, 04 September 2017

kebodohan adalah mempercayaimu

saya baru sadar.
saya.
sebodoh itu.
saya baru sadar
saya terlalu mempercayai seseorang
yang bahkan,
tidak ada dalam pikiran dia
untuk menjaga apa-apa yang saya bagi padanya.
.
katakanlah saya bodoh!
katakanlah saya ceroboh!
katakanlah saya tolol!
.
tidak, saya tidak akan mengelak.
.
tertawakan saya,
karena memang seperti itu adanya, bukan?
.
saya manusia.
biasa.
kamu kira dengan apa-apa yang kamu lakukan,
hati saya se baja itu?
kamu kira dengan bahkan tidak melihat saya menggigit bibir,
saya baik-baik saja?
kamu kira dengan mendiamkan,
saya hanya rusak mood biasa?
.
kamu kira tidak sakit.
merasakan
dunia ini seolah-olah
dipenuhi kesalahan saya?
kamu kira tidak perih.
merasakan
seolah kesalahan saya itu teramat luar biasa fatalnya?
kamu kira tidak pedih
mengingat
apa apa yang saya lakukan itu rasanya seperti
tidak ada artinya;
malah
merugi karenanya?
.
saya ingin
mengataimu
tolol
brengsek
tapi kemudian
kenyataan menampar
.
saya lebih dari apa yang ingin saya luapkan.

Sabtu, 06 Mei 2017

Pengaruh Emosi Terhadap Keseimbangan Takdir

Satu tahun ini, gua ketinggalan (dan kehilangan) banyak hal.
Awal tahun, gua memutuskan untuk ‘mengasingkan diri’ dari kehidupan takdir gua. Gua menolak takdir, melakukan apapun untuk menolak apapun yang berpotensi untuk menjadi takdir gua. Disini, takdir ‘seperti apa di masa depan saya akan menjadi’ buat gua, mudah ditebak. Tapi tanpa pertimbangan apapun, modal emosi sesaat (yang kalo dipikir-pikir lagi sekarang, alasan itu konyol banget, dan karena menurutinya lah gua menghambat kemajuan diri sendiri), gua mati-matian membuang penawaran ‘pengembangan kualitas diri’ itu.
Sombong banget emang. Jijik.
Waktu itu gua berfikir, biarin we lah, bla bla bla. Intinya gua meremehkan tidak terlalu banyaknya ilmu yang bakal gua dapet, jadi gak bakal terlalu nyesel. Paling juga cuma ini, cuma itu. Which is now I realize that, itu salah besar.
Boom!
Justru banyak orang yang menyayangkan atas keputusan labil gua waktu itu. Gak sedikit pula yang mengernyit heran.
Kalau gua jadi orang-orang itu, gua juga pengen ngetawain diri sendiri di masa lalu. Sok tahu. Bocah.
Temen deket gua berkali-kali cerita soal program kerja. Gua masih bisa ketawa, toh program unggulan kalian sekarang juga sumber idenya dari gua, kan? Altough I’m nothing of your part. Dia cerita soal sistem kerja. Gua masih bisa menanggapi, masih nyambung, masih bisa diajak menggali lebih dalam lagi. Dia cerita soal pengalaman kerja.
Deg! Gua kicep. Iya telak, gua kalah.
To be honest, ada perasaan I wanna learn that same things, tapi gabisa.
Yaudah, nasi udah jadi bubur. Tinggal pinter-pinternya gua aja nambahin rasa biar ‘keterlanjuran’ itu bukan suatu hal yang perlu disesali. Keterlanjuran juga bisa menjadi suatu hal yang bisa disyukuri. Dinikmati. Bukan petaka. Haha.
Tahun ini, akademik gua juga ga berkembang.
Lomba-lomba yang diekspetasikan? Ilusi-ilusi yang diangan-angankan?
Puh, boro boro semua! Gua ‘disibukkan’ dengan mengurusi ego kemalasan.
Qur’an? Apalagi. Keteteran. Gak tau lah.
Gua pengen nangis, tapi gak bisa.
Ke siapa? Buat apa? Karena apa? Toh di awal, ini semua gua yang minta, kan? Mau fokus belajar, lah. Mau belajar dewasa, lah. Nyatanya, semua itu, apa? Kosong. Cuma alasan peralih perhatian. Pembungkam mulut orang-orang yang bertanya ‘kenapa’ lantas menutup mulut begitu mendengar jawaban (dan menambahi bumbu-bumbu ketika diberantaikan ke lain orang).
Naif banget gua, asli. Fatal. Sial.
Ada banyak ‘seharusnya’ yang gua abaikan dan tinggalkan.
Yang menjadi takdir kita (baik itu ‘sudah’ maupun ‘akan’), biarlah seperti itu adanya. Tinggal nikmati. Ini keseimbangan kehidupan. Jangan ditolak, jangan disesali. Every part maybe not good, but there is ALWAYS something good in every part. Ketika kita menolak, maka satu hal yang peru kita lakukan adalah menerima. Penolakan dan ketidak mauan yang kita alami hanya emosi sesaat. Taklukkan. Cari sebanyak-banyaknya motivasi agar kita bisa memperindah takdir. Jangan dituruti atau ketidak seimbangan lah yang akan mendominasi.
So, setidaknya, itu yang gua pelajari dari pengalaman konyol bin naif ini. Dan tulisan ini jadi penguat motivasi buat gua sendiri.
Semoga, sih.
.
6 Mei 2017.

In XII IPA 7. Di suatu pelajaran Matematika yang gabut.

Senin, 22 Februari 2016

Garis Tengah

Sejujurnya, gua masih percaya ga percaya udah duduk di kelas 9. Rasanya belum lama gua duduk di bangku smp. Masih inget gua yang cupu, dalam artian belum tau banyak hal. Mimpi masih dangkal, klise. Terus naik kelas. Ikut organisasi. Mata mulai kebuka. Kenal dunia. Akrab sama kesibukan, visi, misi, mimpi. Perlahan belajar kemampuan non-akademik, walaupun harus dibayar mahal dengan turunnya nilai akademik secara drastis.

Gua pun mulai banyak kenal sifat orang, which is temen-temen gua, 195 orang lebih. Perkembangan mereka. Ada yang gitu-gitu aja. Ibarat perubahan fisika, masih keliatan sifat alamiahnya. Ada yang garis perubahannya signifikan. Semakin naik kelas semakin nyoba hal hal yang 'antimainstream'. Karena antimainstream itulah, sesuatu yang jelas-jelas salah malah dibanggakan. Sepantes apa sih?

Gua pernah baca di novel Dilan, jadi orang bandel itu ga gampang. Harus punya nyali buat ngelakuin kebandelan itu sendiri. Harus terima konsekuensi nantinya. Belum lagi ngeimbangin sama hal-hal yang kontra. Prestasi, hafalan, orangtua, masa depan contohnya. Harus tahan cemoohan, cibiran, sindiran. Lu ngerasain banget gimana kesenangan itu ditukar dengna harga yang pantas. You're happy but you'll get hurt. Latar belakang ini pula yang mewarnai perjuangan hidup lu.

Dari buku yang sama pula, orang bandel lebih keren dari pada orang baik-baik karena orang yang keliatan baik-baik itu ngikut arus. Ga berani mencoba. Datar. Lebih tepatnya, ga tau mau ngapain sehingga ikut aja yang jelas-jelas bener. Anti-masalah, ga cakap menganggapinya. Butuh sandaran orang lain sebagai solusi.Padahal, hidup siapa sih yang ga bakal ketemu masalah?

So, do we should be a recalcitrant teenager ?
No.

Jadi orang baik tetep lebih sulit.
Bukan sebagai orang 'baik-baik' yang gua deskripsiin diatas. It's perfectly called as 'flat person'.

Lebih sulit nurutin hawa nafsu / nahan hawa nafsu?
Lebih sulit berpaling dari kebaikan / istiqomah dengan kebaikan?
Kebandelan itu nafsu, isn't it? Lu bisa keren dengan membiasakan hal-hal baik dan kejar passion lu. Daripada keluyuran ga jelas yang belum tentu ada manfaatnya. Abis waktu lu sia-sia. Rugi hidup lu.

Masih muda kali, puas-puasin bandelnya.

Emang manusia ada puasnya? Dengan tingkat kebandelan yang udah lu capai, semerta-merta lu puas? Dan akhirnya lu bosen trus berhenti? Seenak ketek ninggalin kebandelan itu? Yakin? Adanya lu terlena, terbiasa, dan akhirnya lupa sama kebiasaan baik yang ngasih banyak manfaat ke lu.

Emang hidup di jalan lurus ga ada tantangannya? Banyak! Lu pikir bertahan dengan kebiasaan baik dalam segala kondisi gampang? Seimbangin nafsu sama kewajiban gampang? Bisa cita-cita dikejar cuma modal angan? NGIMPI LU SELANGIT!

It's okay kalo lu agak cenderung ke hal yang terkesan negatif. Asal tau jati diri sendiri. Tau batesannya. Always watchful lah. Bisa seimbang. Tau harus ngapain. Dan yang penting, sesuai porsi. Sadar kewajiban yang ga boleh lu tinggalin.

Got it?

Tulisan ini buat siapa? Buat gua sendiri.
Tata Qonita.

Jumat, 24 Juli 2015

Terima Kasih, Teman-teman!

Teman teman, terima kasih...
Kepada mereka yang menjadi kakak kelasku,
Terima kasih telah menjadi kakak kelas yang menginspirasi
Memang, memang tak harus melulu dibuktikan dengan sikap menyenangkan padaku; dekat; menyapa jika bertemu; membelaku; mendukungku; tidak pernah menyakitiku; dan sejenis itu...
Tapi atas semua sikap, termasuk yang tidak menyenangkan, walaupun aku tidak mengenalmu begitu dalam, atau kau yang selalu ambil peran paling perhatian atas tindakanku -mengomentari you can say-, atau kau yang selalu mencibir, atau bahkan tak menyukaiku, mengatakan banyak hal tentangku, membanding-bandingkanku ...
Tidak apa-apa, terima kasih, telah membagi perhatianmu. Tapi biarkan aku hidup bersama duniaku. Biarkan aku berkarya dengan duniaku. Lepaskan aku dari komentar yang mungkin, mengikatku. Inilah aku. Biarkan aku belajar banyak dari sudut pandang yang berbeda denganmu.
Atau dari mereka yang bersikap menyenangkan padaku. Terima kasih banyak. Terima kasih untuk selalu mendukung. Mengerti. Memahami. Atau bahkan kau mungkin tidak mengenalku, tetapi akulah yang sepertinya dekat dengan kehidupanmu. Terima kasih telah menjadi teladan. Terima kasih telah menjadi inspirasi banyak sikap. Terima kasih telah menyindir sikapku yang terkadang kurang pantas dengan amat halus dan bijaksana. Tindakan nyata. Inspirasi banyak orang, bagi mereka yang mau memahami, bukan? Sungguh, sungguh terima kasih.
Teman teman, terima kasih...
Kepada mereka yang menjadi adik kelasku,
Terima kasih telah menjadi adik kelas yang mengajariku banyak
Dari hal kecil, menyentil aku untuk terus bersikap sebagaimana mestinya ketika aku sedang khilaf. Mengingatkan ketika aku tak peka, tak peduli, meski sebenarnya aku sadar aku sedang salah. Terima kasih telah mendidik aku untuk lebih dewasa. Dari kalian aku belajar tentang penerimaan dalam hidup. Tentang bagaimana menjadi uhm, kakak. Terima kasih atas partisipasi dalam banyak hal. Tanpa kalian mungkin, tak ada warna yang ramai dalam coretan jejak perjalanan kami.