Sabtu, 06 Mei 2017

Pengaruh Emosi Terhadap Keseimbangan Takdir

Satu tahun ini, gua ketinggalan (dan kehilangan) banyak hal.
Awal tahun, gua memutuskan untuk ‘mengasingkan diri’ dari kehidupan takdir gua. Gua menolak takdir, melakukan apapun untuk menolak apapun yang berpotensi untuk menjadi takdir gua. Disini, takdir ‘seperti apa di masa depan saya akan menjadi’ buat gua, mudah ditebak. Tapi tanpa pertimbangan apapun, modal emosi sesaat (yang kalo dipikir-pikir lagi sekarang, alasan itu konyol banget, dan karena menurutinya lah gua menghambat kemajuan diri sendiri), gua mati-matian membuang penawaran ‘pengembangan kualitas diri’ itu.
Sombong banget emang. Jijik.
Waktu itu gua berfikir, biarin we lah, bla bla bla. Intinya gua meremehkan tidak terlalu banyaknya ilmu yang bakal gua dapet, jadi gak bakal terlalu nyesel. Paling juga cuma ini, cuma itu. Which is now I realize that, itu salah besar.
Boom!
Justru banyak orang yang menyayangkan atas keputusan labil gua waktu itu. Gak sedikit pula yang mengernyit heran.
Kalau gua jadi orang-orang itu, gua juga pengen ngetawain diri sendiri di masa lalu. Sok tahu. Bocah.
Temen deket gua berkali-kali cerita soal program kerja. Gua masih bisa ketawa, toh program unggulan kalian sekarang juga sumber idenya dari gua, kan? Altough I’m nothing of your part. Dia cerita soal sistem kerja. Gua masih bisa menanggapi, masih nyambung, masih bisa diajak menggali lebih dalam lagi. Dia cerita soal pengalaman kerja.
Deg! Gua kicep. Iya telak, gua kalah.
To be honest, ada perasaan I wanna learn that same things, tapi gabisa.
Yaudah, nasi udah jadi bubur. Tinggal pinter-pinternya gua aja nambahin rasa biar ‘keterlanjuran’ itu bukan suatu hal yang perlu disesali. Keterlanjuran juga bisa menjadi suatu hal yang bisa disyukuri. Dinikmati. Bukan petaka. Haha.
Tahun ini, akademik gua juga ga berkembang.
Lomba-lomba yang diekspetasikan? Ilusi-ilusi yang diangan-angankan?
Puh, boro boro semua! Gua ‘disibukkan’ dengan mengurusi ego kemalasan.
Qur’an? Apalagi. Keteteran. Gak tau lah.
Gua pengen nangis, tapi gak bisa.
Ke siapa? Buat apa? Karena apa? Toh di awal, ini semua gua yang minta, kan? Mau fokus belajar, lah. Mau belajar dewasa, lah. Nyatanya, semua itu, apa? Kosong. Cuma alasan peralih perhatian. Pembungkam mulut orang-orang yang bertanya ‘kenapa’ lantas menutup mulut begitu mendengar jawaban (dan menambahi bumbu-bumbu ketika diberantaikan ke lain orang).
Naif banget gua, asli. Fatal. Sial.
Ada banyak ‘seharusnya’ yang gua abaikan dan tinggalkan.
Yang menjadi takdir kita (baik itu ‘sudah’ maupun ‘akan’), biarlah seperti itu adanya. Tinggal nikmati. Ini keseimbangan kehidupan. Jangan ditolak, jangan disesali. Every part maybe not good, but there is ALWAYS something good in every part. Ketika kita menolak, maka satu hal yang peru kita lakukan adalah menerima. Penolakan dan ketidak mauan yang kita alami hanya emosi sesaat. Taklukkan. Cari sebanyak-banyaknya motivasi agar kita bisa memperindah takdir. Jangan dituruti atau ketidak seimbangan lah yang akan mendominasi.
So, setidaknya, itu yang gua pelajari dari pengalaman konyol bin naif ini. Dan tulisan ini jadi penguat motivasi buat gua sendiri.
Semoga, sih.
.
6 Mei 2017.

In XII IPA 7. Di suatu pelajaran Matematika yang gabut.

2 komentar:

  1. Kalau kebahagiaan tdk bs diabadikan, setidaknya jangan mengabadikan kesedihan. Woyyy wake up, gmn tahfidnya?

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus